Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa), memberikan kewenangan kepada Desa, antara lain kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal skala Desa. Pemerintah berupaya meningkatkan kapasitas keuangan Desa khususnya, melalui transfer Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD). Desa diharapkan meningkat kemampuannya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya secara efektif, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
Kapasitas Desa dalam menyelenggarakan pembangunan dalam perspektif “Desa Membangun” disadari masih memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu tampak dalam kapasitas aparat Pemerintah Desa dan masyarakat, kualitas tata kelola Desa, maupun sistem pendukung yang terwujud melalui regulasi dan kebijakan Pemerintah yang terkait dengan Desa. Sebagai dampaknya, kualitas perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan kegiatan pembangunan Desa kurang optimal dan kurang memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa.
Menanggapi kondisi di atas, Pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (selanjutnya disingkat Kemendesa PDTT), sesuai amanat UndangUndang Desa, menyediakan tenaga pendamping profesional mulai 2 dari tingkat desa sampai dengan pusat, untuk memfasilitasi pemerintah desa melaksanakan Undang-Undang Desa secara konsisten.
Pendampingan Masyarakat Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa. (catatan: frasa di Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa: a. Pasal 1, angka 3 berbunyi: “Pendampingan Desa adalah upaya meningkatkan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintahan desa, pembangunan desa, pembentukan dan pengembangan badan usaha milik Desa dan/atau badan usaha milik desa bersama, peningkatan sinergitas program dan kegiatan desa, serta kerja sama antar Desa untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa”; b. pasal 1, angka 6 berbunyi: “Pendampingan Masyarakat Desa adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan pendampingan Desa”.
Undang-Undang Desa memandatkan bahwa pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan. Dengan demikian, pendampingan masyarakat desa juga mencakup fasilitasi program/kegiatan pembangunan desa yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa. Penerapan kebijakan nasional tentang Sustainable Development Goals (SDGs) Desa dalam pelaksanaan pembangunan Desa mensyaratkan para pendamping masyarakat desa harus mampu memahami substansi dari masingmasing tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa beserta cara-cara penerapannya dalam pembangunan Desa. Selain itu, para pendamping harus mampu memfasilitasi pendayagunaan teknologi digital dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa.
Kunci keberhasilan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa salah satunya adalah adanya pendampingan masyarakat desa yang berkualitas. Peran serta pendamping masyarakat Desa dalam pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa. Adapun tujuan Pendampingan Desa adalah:
1. Meningkatkan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas Pemerintahan Desa dalam pendataan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan Desa yang difokuskan pada upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa;
2. Meningkatkan prakarsa, kesadaran, dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan partisipatif untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa;
3. Meningkatkan daya guna aset dan potensi sumber daya ekonomi Desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan/atau BUMDesa Bersama bagi kesejahteraan dan keadilan untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa; dan
4. Meningkatkan sinergitas program dan kegiatan Desa, kerja sama Desa dan antar Desa untuk mendukung pencapaian SDGs Desa. Adapun pendampingan desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: Tenaga Pendamping Profesional, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) adalah sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang pembangunan dan pemberdayaan Masyarakat Desa, yang direkrut oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi;
b. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) merupakan bagian dari tenaga kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang melaksanakan tugas pendampingan masyarakat Desa, dan wajib mengimplementasikan kebijakan dan peraturan-peraturan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dalam upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa;
c. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) berada dibawah koordinasi dan bertanggungjawab kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, melalui Unit Kerja Eselon I Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang selanjutnya disingkat BPSDM;
d. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) secara nasional (Pusat hingga Desa) dipimpin dan/atau dikoordinir oleh 1 (satu) orang Koordinator yang disebut Koordinator Nasional TPP, dan dibantu oleh minimal 1 (satu) orang Wakil Koordinator Nasional, yang sekaligus sebagai Koordinator dan Wakil Koordinator organisasi Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Pusat, serta didukung oleh Tenaga-Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Pusat dengan kualifikasi sebagai Tenaga Terampil Penyelia Madya;
e. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) ditingkat Provinsi dikoordinir oleh 1 (satu) orang Koordinator yang disebut Koordinator TAPM Provinsi dan didukung oleh Tenaga-Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Provinsi dengan kualifikasi sebagai Tenaga Terampil Penyelia Pratama; 5
f. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) ditingkat Kabupaten/Kota dikoordinir oleh 1 (satu) orang Koordinator yang disebut Koordinator Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten/Kota dan didukung oleh Tenaga-Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten/Kota dengan kualifikasi sebagai Tenaga Terampil Mahir;
g. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) ditingkat Kecamatan dan Desa dikoordinir oleh 1 (satu) orang Koordinator, yaitu salah satu Pendamping Desa (PD) serta didukung oleh tenaga-tenaga Pendamping Desa (PD), Pendamping Teknis (PT) dan Pendamping Lokal Desa (PLD).
Adapun untuk penyediaan tenaga pendamping profesional dilakukan melalui rekrutmen secara terbuka, berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa.
Dalam perkembangannya, jenis tenaga pendamping profesional juga tambah beragam seiring dengan tuntutan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ada. Namun demikian, meningkatnya kebutuhan dan keberagaman jenis tenaga pendamping profesional tersebut belum diikuti oleh dikembangkannya standar kompetensi dan jenjang karir yang jelas bagi tenaga pendamping profesional. Fakta adanya kebutuhan akan tenaga pendamping profesional untuk pendampingan desa yang memiliki kompetensi tertentu dan jumlahnya terus meningkat, menunjukkan bahwa tenaga pendamping profesional telah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah profesi. Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut.
Dalam rangka mengembangkan profesi tenaga pendamping profesional pendampingan desa beserta sistem penjaminan kualitas terhadap kinerjanya, maka keberadaan sertifikasi profesi tenaga pendamping profesional mutlak diperlukan. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa yang menyatakan bahwa tenaga pendamping profesional harus memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Sertifikasi kompetensi tersebut diterapkan secara bertahap, lebih lanjut Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2020 menegaskan bahwa tenaga pendamping profesional yang belum memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi masih tetap dapat menjalankan tugasnya selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tersebut mulai berlaku.
Pentingnya sertifikasi profesi tenaga pendamping profesional, akan memberikan implikasi kepada banyak pihak, yaitu:
1. Bagi Desa dan masyarakat desa, sertifikasi akan menjamin terselenggaranya layanan pendampingan Desa yang berkualitas. Dewasa ini masih dijumpai tenaga pendamping profesional yang sebenarnya tidak atau belum memiliki kompetensi dan atau pengalaman kerja sesuai kebutuhan masyarakat dan Desa.
2. Bagi institusi pengguna, sertifikasi akan menjamin bahwa tenaga pendamping profesional yang dipekerjakan benarbenar memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dan biaya yang telah dikeluarkan.
3. Bagi tenaga pendamping profesional, sertifikasi ini merupakan pengakuan terhadap profesinya. Pengakuan tersebut akan diikuti oleh adanya penghargaan (gaji, upah, dan insentif lain) yang memadai, sesuai dengan standar gaji atau remunerasi yang berlaku bagi seorang tenaga pendamping profesional dan tingkat pengalaman yang dimiliki.
Dengan demikian, masa depan dan keberlanjutan profesi tenaga pendamping profesional akan semakin terjamin. Sebagai salah satu syarat pembentukan profesi tenaga pendamping profesional dan melalui serangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, maka telah ada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Tenaga Pendamping Profesional untuk pendampingan desa sesuai Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori Aktivitas Jasa Lainnya Golongan Pokok Aktifitas Perorangan Lainnya pada Jabatan Tenaga Pendamping Profesional. Akan tetapi dalam praktiknya, sesuai dengan perjalanan waktu dan perubahan regulasi di Kemendesa PDTT, maka perlu dilakukan tinjauan ulang dan/atau revisi atas SKKNI dimaksud. ***
Tulisan ini dikutip dari LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 201 TAHUN 2021 TENTANG PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA KATEGORI AKTIVITAS JASA PROFESIONAL, ILMIAH DAN TEKNIS GOLONGAN POKOK AKTIVITAS PROFESIONAL, ILMIAH DAN TEKNIS LAINNYA PADA JABATAN KERJA TENAGA PENDAMPING PROFESIONAL.
Baca selengkapnya dalam file berikut ini :
Posting Komentar