Menurut Dr. Yasraf Amir Piliang dari Senirupa Intitut Teknlogi Bandung (ITB), pandemi
virus corona layaknya sebuah ledakan ‘bom’ yang menghantam dunia dan
menimbulkan rasa kepanikan, ketakutan dan ketidakberdayaan global yang sangat
hebat. Virus itu layaknya hantu, predator, alien-alien, yang menebar aroma rasa
takut dan horor di setiap sudut dunia.
Begitu dahsyatnya horor itu, sehingga tak ada satu sudut
duniapun yang dirasa aman: darat, pantai, gunung, laut, udara; kota, desa,
jalan, terminal, kendaraan; mall, pasar, sekolah, bahkan tempat ibadah. Rasa
takut terhadap virus itu telah menyebabkan kantor-kantor diisolasi,
tempat-tempat hiburan ditutup, sekolah-sekolah diliburkan, dan sarana-sarana
transportasi dikandangkan. Efek rasa
takut dan horor itu telah menutup, memalang, memportal, dan mengunci aneka
relasi sosial, politik, ekonomi dan budaya global: sebuah proses
‘de-sosialisasi masif’ masyarakat global.
Berbagai negara bahkan mengunci (lockdown) dan
memalang diri: sebuah proses ‘isolasi diri masif’ negara-bangsa. Aktivitas ekonomi—produksi,
distribusi dan konsumsi—melambat bahkan berhenti: sebuah proses ‘de-aselerasi
masif’ ekonomi. Aktivitas pendidikan terganggu, yang memaksa bentuk pendidikan
jarak jauh: sebuah proses ‘hiper-realisasi masif’ pendidikan . Sementara, aneka
bentuk aktivitas budaya, khususnya olah raga dan hiburan, dihentikan: sebuah
proses ‘de-kulturalisasi masif’ kebudayaan.
Pandemi Covid-19 adalah sebuah serangan mematikan
terhadap globalisasi, tetapi ironisnya melalui jalan sutra globalisasi itu
sendiri. Ia telah menciptakan kondisi ‘titik-balik globalisasi’ yang sempurna.
Virus itu telah menghentikan dengan telak arus besar globalisasi yang selama
ini disanjung-sanjung, yaitu pergerakan tanpa batas manusia, barang dan jasa
secara global. Ia telah meluluh-lantakkan keangkuhan globalisasi-kapitalistik,
yang diklaim tak dapat dibendung oleh kekuatan apapun: sebuah ketakaburan
global. Globalisasi yang dicirikan oleh kondisi kesaling-terhubungan kini
digantikan kesaling-terputusan; oleh kesaling-bergantungan, kini diambilalih
kesaling-terpisahan; oleh kesaling-bersamaan kini ditukar dengan
kesaling-curigaan. Dunia tanpa batas kini menjadi dunia yang dibatas-batas,
disekat-sekat, dikunci, digembok, dipalang, diportal dan diisolasi.
Apa yang dilukiskan sebagai ‘desa dunia’ (global village)
kini menjelma menjadi desa-desa dunia, yang terisolir satu sama lainnya. Dunia
global yang dibayangkan sebagai dibangun oleh ‘masyarakat terbuka’ (open
society), yang di dalamnya setiap orang bebas bergerak secara global karena
tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis, ekonomis, agama, ideologi dan
budaya, kini menjelma menjadi dunia dengan ‘masyarakat tertutup’ (closed
society), yang di dalamnya orang tak dapat bebas bergerak, berpindah, atau
berpergian, bahkan di kota atau desanya sendiri—sebuah ironi globalisasi.
Globalisasi ekonomi dan informasi telah membawa umat manusia ke dalam sebuah
skema kecepatan dan percepatan perubahan. Kecepatan adalah kata kunci abad ke
21: Siapa yang bergerak lambat, ia akan mati! Kecepatan menghasilkan kemajuan .
Akan tetapi, virus corona dalam sekejap telah mengubah
percepatan menjadi perlambatan bahkan kematian; telah mengubah gerak ke depan
atau progresi menjadi gerak ke belakang atau regresi. Jejaring ekonomi, sosial
dan budaya global mengalami perlambatan, bahkan mungkin akan diikuti oleh aneka
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesakitan bahkan kematian—matinya globalisasi! Untungnya,
satu-satunya yang masih menghibur kita dari hantu kematian global ini adalah
jejaring digital dan media sosial: Internet, Facebook, WhatsApp, Twitter,
Instagram.
Ketika globalisasi kini mengalami semacam ‘keterputusan’ dan
‘keterisolasian’ total, jejaring digital menyelamatkan instink bersosialisasi,
berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi dan berbagi manusia. Media
sosial-digital setidaknya memanjakan manusia global dalam bersosialisasi dalam
kesepian, berteman dalam kesendirian, berkomunikasi dalam keterisolasian,
berbagi dalam kesunyian, atau berteman dalam kepedihan. Media sosial menjadi
media perekat sosial dalam iklim ketakutan, keterisolasian dan keterpisahan
global. Pandemi virus corona juga melanda bangsa kita. Virus itu sekali lagi
adalah ujian bagi bangsa ini: apakah kita siap menghadapi keterputusan,
ketertutupan, pemalangan, isolasi dan regresi global ini. Sebetulnya situasi
lockdown di mana bumi seolah berhenti, pause, istirahat sejenak berdampak bagus
juga dalam hal pengurangan polusi emisi karbon dioksida skala dunia.
Ketika merapatkan shaff waktu salat berjamaah diganti dengan anjuran merenggangkan shaff dengan dalil social distancing. Ketika ajaran silaturahmi bersalaman dan berangkulan dicegah. Ketika umrah dan haji dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan. Ketika nantinya mungkin shalat tarawih dan I’tikaf di masjid selama bulan Ramadhan ditiadakan. Ketika shaum Ramadhan dianggap melemahkan imunitas tubuh. Ketika salat Idul Fitri dan Idul Adha ditiadakan. Semua itu menyebabkan kegalauan hati muslim, meskipun ada alibi dalil ushul fiqih bahwa mencegah kemudlaratan diutamakan dari mengejar kebaikan. Tetap saja larangan-larangan yang bertolak belakang dengan perintah agama itu mengganjal di hati. Maka semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua dan menyelamatkan kita dari segala penyakit. Mudah-mudahan musibah ekonomi, sosial dan spiritual ini segera berakhir. Astaghfirullahal ‘adzim.*** amriblog/bsi/BP